KPK Ungkap Pembelian Pabrik AMDK dari Dana Korupsi Pengadaan APD di Kemenkes

KPK Ungkap Pembelian Pabrik AMDK dari Dana Korupsi Pengadaan APD di Kemenkes

Tuban Pos – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini mengungkap dugaan pembelian sebuah pabrik air minum dalam kemasan (AMDK) oleh tersangka kasus korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD), berinisial SW. Pembelian pabrik tersebut diduga berasal dari hasil penyelewengan dana anggaran yang seharusnya digunakan untuk penanganan bencana di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2020. Kasus ini berawal dari sumber dana siap pakai yang dialokasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang diduga disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. KPK pun segera melakukan pendalaman lebih lanjut terhadap pengusaha bernama Agus Subarkah yang diperiksa terkait pembelian pabrik AMDK tersebut pada Jumat, 15 November 2024.

Menurut Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, pemeriksaan terhadap Agus Subarkah berkaitan dengan dugaan pembelian pabrik AMDK yang terletak di wilayah Bogor oleh Satrio Wibowo (SW), yang merupakan salah satu tersangka dalam kasus ini. “Saksi hadir dan didalami terkait dengan dugaan pembelian aset pabrik AMDK yang terletak di wilayah Bogor oleh tersangka SW,” ujar Tessa saat dikonfirmasi di Jakarta pada 20 November 2024. Tessa juga mengungkapkan bahwa pabrik tersebut dibeli pada tahun 2020 dengan harga yang disepakati sebesar Rp60 miliar, namun yang baru dibayarkan oleh SW hanya sebesar Rp15 miliar. Pembayaran tersebut diduga menggunakan dana yang berasal dari tindak pidana korupsi pengadaan APD.

KPK masih menelusuri apakah pabrik AMDK tersebut akan disita sebagai bagian dari proses hukum lebih lanjut. Tessa menjelaskan bahwa dalam penanganan aset yang terkait dengan tindak pidana korupsi, ada beberapa opsi yang bisa diambil oleh penyidik, termasuk kemungkinan untuk menyita pabrik atau hanya uang yang digunakan dalam transaksi tersebut. “Tergantung penyidik, karena itu melihat situasi di lapangan apakah pabriknya yang akan disita atau uangnya saja,” kata Tessa.

Kasus ini berawal pada Maret 2020, saat Kementerian Kesehatan melakukan pembelian alat pelindung diri (APD) dalam jumlah besar melalui dua perusahaan, yaitu PT Permana Putra Mandiri (PPM) dan PT Energi Kita Indonesia (EKI), yang bertindak sebagai distributor. Pembelian ini dilakukan dengan harga yang sangat tinggi dan tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. PT PPM, yang menjual 10.000 unit APD ke Kemenkes, mengenakan harga Rp379.500 per set. Namun, dalam pelaksanaannya, sejumlah penyimpangan terjadi, termasuk pengambilan barang oleh TNI atas perintah kepala BNPB saat itu tanpa dokumentasi yang lengkap.

Lebih lanjut, pada 22 Maret 2020, Satrio Wibowo selaku Direktur Utama PT EKI menandatangani kontrak dengan Kemenkes untuk menjual 500.000 set APD dengan harga mengikuti nilai dolar saat pemesanan. Dalam kesepakatan tersebut, PT PPM dan PT EKI bekerja sama untuk mendistribusikan APD dengan memberikan margin sebesar 18,5 persen kepada PT PPM. Kerjasama ini kemudian diajukan ke BNPB untuk disetujui.

Masalah muncul ketika harga APD yang telah disepakati antara BNPB dan Satrio Wibowo ternyata tidak sesuai dengan harga pasar yang berlaku. Negosiasi harga yang dilakukan oleh Kepala BNPB saat itu, Hermansyah, berhasil menurunkan harga APD dari USD60 menjadi USD50 per set, yang seharusnya tidak terjadi karena merugikan negara. PT PPM kemudian menagih pembayaran atas 170.000 set APD yang didistribusikan kepada TNI dengan harga USD50 per set (sekitar Rp700.000). Pembayaran pertama sebesar Rp10 miliar dilakukan pada 27 Maret 2020, namun pada saat itu belum ada kontrak atau surat pesanan resmi.

Pada 28 Maret 2020, Budi Sylvana ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes dan langsung menandatangani dokumen pemesanan 5 juta set APD dengan harga satuan USD48,4 yang ditandatangani oleh Budi Sylvana, Ahmad Taufik, dan Satrio Wibowo. Namun, dokumen tersebut tidak memuat rincian terkait pekerjaan, waktu pelaksanaan, atau hak dan kewajiban para pihak, yang seharusnya ada dalam sebuah surat pemesanan resmi.

Setelah negosiasi harga dilakukan pada bulan April 2020, Kemenkes membeli APD dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga yang sebelumnya disepakati. Pada 15 April 2020, Kemenkes menerima surat pemberitahuan bahwa PT PPM telah mengirimkan 790.000 set APD dari total 5 juta set yang telah dipesan. Meskipun pengadaan APD tersebut sudah berjalan, banyak penyimpangan yang ditemukan, termasuk bahwa PT EKI tidak memiliki izin penyaluran alat kesehatan (IPAK), yang bertentangan dengan peraturan yang mengatur tentang distribusi alat kesehatan di Indonesia.

Dalam konstruksi perkara ini, ada dugaan bahwa PT EKI terlibat dalam pengadaan APD tanpa izin yang sah, yang menambah panjang daftar pelanggaran dalam kasus ini. Penyidik KPK masih terus mengembangkan penyelidikan terkait pembelian pabrik AMDK yang diduga berasal dari dana yang disalahgunakan dalam pengadaan APD tersebut. Dengan berkembangnya penyelidikan, diharapkan KPK dapat mengungkap lebih banyak pihak yang terlibat dalam kasus korupsi ini.

You might like

About the Author: admin 2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *