
Tuban Pos – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang masuk dalam daftar Prolegnas 2025 sempat memicu perdebatan sengit antara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Supratman Andi Agtas, dan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Benny K. Harman. Perdebatan ini terjadi dalam rapat Baleg yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Senin, 8 November 2024.
Benny K. Harman mengungkapkan kekecewaannya karena RUU Perampasan Aset tidak tercantum dalam daftar RUU Prolegnas yang diajukan oleh pemerintah. Benny bahkan mengaitkan hal ini dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto yang tercatat dalam buku “Paradoks Indonesia”, yang menekankan pentingnya pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik korupsi. Menurut Benny, komitmen tersebut seharusnya tercermin dalam agenda Prolegnas, khususnya dalam pembahasan RUU Perampasan Aset.
“Apa yang menjadi kegelisahan beliau (Prabowo soal pemerintahan harus bersih) tidak nampak di dalam agenda Prolegnas ini,” kata Benny dalam rapat tersebut. Ia kemudian meminta penjelasan lebih lanjut dari pemerintah terkait ketidakhadiran RUU Perampasan Aset dalam daftar tersebut.
Menanggapi kritik tersebut, Supratman Andi Agtas, yang juga mewakili pemerintah, menyampaikan bahwa pemerintah tetap berkomitmen untuk mengusulkan RUU Perampasan Aset. Meskipun demikian, ia menjelaskan bahwa alasan mengapa RUU tersebut belum diajukan adalah karena perdebatan di parlemen, khususnya di Baleg, masih berjalan dinamis. Perdebatan tersebut mencakup berbagai hal, termasuk perubahan nomenklatur judul yang sempat menjadi bahan diskusi, apakah RUU ini seharusnya disebut “Perampasan Aset” atau “Pemulihan Aset” (asset recovery).
Supratman menegaskan bahwa dalam proses pembahasan RUU ini, pemerintah ingin memastikan ada kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif, tanpa hanya terburu-buru untuk mengesahkan RUU tersebut. “Daripada kita hanya gagah-gagahan mengajukan 1 RUU, tapi pada akhirnya publik tidak mendapatkan hasilnya, lebih baik kita diskusikan bersama terlebih dahulu,” ujar Supratman. Ia berharap bahwa proses pembahasan bisa dilakukan dengan lebih matang, dan jika ada kesepakatan terkait substansi dan judul RUU, maka pemerintah akan segera mengajukannya.
Benny K. Harman kemudian menanggapi dengan mengingatkan Supratman bahwa ia seharusnya tidak mencampuri dinamika di parlemen, karena posisi Supratman mewakili presiden, bukan sebagai Ketua Baleg DPR. “Ini kan posisinya mewakili pak presiden, bukan ketua Baleg lagi. Oleh sebab itu, tentu tidak perlu pemerintah ikut-ikutan cawe-cawe ke soal teknis di parlemennya,” ujarnya.
Benny lebih lanjut menegaskan bahwa DPR tidak pernah menolak untuk membahas RUU tersebut, melainkan pemerintah yang belum mengajukan RUU Perampasan Aset dengan jelas. Ia menyayangkan sikap pemerintah yang belum menunjukkan komitmen penuh dalam hal ini. “Kami juga ketemu masyarakat dituduh, kenapa DPR tidak mau membahas itu. Kami bilang, bukan DPR tidak mau membahas, wong pemerintahnya belum ajukan,” tambah Benny.
Perdebatan ini menyoroti ketegangan antara pemerintah dan DPR terkait transparansi dan komitmen dalam membahas RUU yang dinilai penting bagi pemberantasan korupsi dan pengembalian aset yang disalahgunakan. Meski ada perbedaan pandangan, Supratman tetap memastikan bahwa pemerintah berkomitmen untuk mengusulkan RUU Perampasan Aset dan telah mencantumkannya dalam daftar Prolegnas 2025-2029.
“Sedikit ya Pak, karena ini isunya sensitif. Silakan dibaca, pemerintah itu komit mengusulkan RUU ini ada di daftar 40 RUU yang kami ajukan, dan RUU Perampasan Aset itu ada di urutan kelima,” jelas Supratman, menanggapi pernyataan Benny yang menyebutkan bahwa pemerintah belum mengajukan RUU tersebut secara resmi.
Perdebatan mengenai RUU ini mencerminkan pentingnya kerja sama antara eksekutif dan legislatif dalam merumuskan undang-undang yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, terutama terkait dengan isu pemberantasan korupsi dan pengelolaan aset negara. Meski terjadi perbedaan pandangan mengenai waktu dan substansi, baik pemerintah maupun DPR tetap berkomitmen untuk menjaga integritas dan efisiensi dalam proses legislasi.