
Tuban Pos – Sebuah tragedi memilukan terjadi di Nzerekore, Guinea Tenggara, ketika final turnamen sepak bola yang seharusnya menjadi ajang persatuan justru berakhir dengan kekacauan besar. Turnamen yang diadakan untuk menghormati pemimpin militer Guinea, Mamady Doumbouya, berubah menjadi insiden mematikan yang menewaskan 56 orang. Bentrok antarsuporter yang berujung desak-desakan menjadi pemicu utama duka mendalam ini.
Menurut laporan resmi, kerusuhan dimulai pada menit ke-82 ketika wasit memberikan kartu merah kepada salah satu pemain. Keputusan ini memancing kemarahan sebagian suporter yang melampiaskannya dengan melempar batu ke arah lapangan. Ketegangan semakin tidak terkendali saat polisi menanggapi dengan menembakkan gas air mata, menciptakan kepanikan di antara ribuan penonton.
Kerumunan besar yang berdesakan di pintu keluar stadion menjadi penyebab utama tingginya jumlah korban jiwa. Dalam suasana panik, banyak penonton mencoba melarikan diri dengan memanjat tembok stadion. Video yang beredar menunjukkan bagaimana puluhan orang berusaha menyelamatkan diri, namun akhirnya terjebak dalam kekacauan yang tidak terkendali. Perempuan dan anak-anak menjadi korban terbanyak dalam tragedi ini.
Saksi mata, Amara Conde, mengungkapkan betapa mengerikan situasi yang terjadi. “Saya melihat banyak orang jatuh dan tidak bisa bangun lagi. Polisi menembakkan gas air mata, dan orang-orang saling dorong untuk keluar. Anak-anak dan perempuan menjadi korban paling banyak,” katanya. Pernyataannya menegaskan buruknya manajemen massa dalam acara ini.
Kelompok oposisi Guinea, National Alliance for Change and Democracy, menuding pemerintah bertanggung jawab atas tragedi ini. Mereka menyebut turnamen tersebut hanya dijadikan alat politik untuk menggalang dukungan bagi junta militer yang dipimpin oleh Doumbouya. Turnamen yang tidak terorganisir dengan baik ini dianggap sebagai langkah yang tidak bertanggung jawab di tengah kondisi negara yang penuh ketegangan politik.
Mantan Presiden Guinea, Alpha Conde, juga memberikan kritik tajam terhadap penyelenggaraan turnamen ini. Ia menyebut bahwa insiden tersebut menjadi bukti buruknya manajemen acara dalam kondisi negara yang tidak stabil. Menurutnya, tragedi ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi semua pihak untuk lebih bertanggung jawab dalam mengatur acara publik.
Pemandangan tragis ini semakin diperparah oleh fakta bahwa banyak korban adalah anak-anak. Seorang pejabat pemerintah lokal yang tidak ingin disebutkan namanya menyebutkan bahwa anak-anak yang terjebak di dalam stadion menjadi mayoritas korban. Bahkan, beberapa orang tua langsung membawa jenazah anak-anak mereka sebelum proses identifikasi resmi dilakukan.
Tragedi ini terjadi di tengah meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap junta militer Guinea. Sejak mengambil alih kekuasaan pada tahun 2022, Doumbouya berjanji akan mengembalikan pemerintahan sipil pada akhir tahun 2024. Namun, hingga saat ini, belum ada tanda-tanda nyata untuk menyelenggarakan pemilu, sehingga memicu berbagai protes yang sering kali berujung kekerasan.
Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAF) bersama FIFA sebenarnya telah berupaya meningkatkan keamanan stadion di Afrika. Namun, tragedi di Nzerekore ini menambah daftar panjang insiden mematikan di stadion-stadion Afrika. Kejadian ini menjadi pengingat bahwa keselamatan penonton harus menjadi prioritas utama dalam setiap acara olahraga.
Tragedi di Nzerekore meninggalkan luka mendalam bagi Guinea. Selain itu, insiden ini juga menjadi sorotan dunia, mengingat buruknya pengelolaan acara dan situasi politik yang terus memanas di negara tersebut. Keamanan penonton harus menjadi fokus utama agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan.
Sebuah tragedi seperti ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, baik pemerintah, penyelenggara acara, maupun federasi olahraga. Semoga kejadian ini tidak hanya menjadi duka, tetapi juga momentum untuk memperbaiki sistem keselamatan di stadion dan acara besar lainnya.